tipis

Tuesday, January 26, 2021

PENGERTIAN MASBUQ DAN PERNAK-PERNIKNYA DALAM SHOLAT BERJAMA’AH


Didalam ilmu fiqih khususnya mazhab imam syafi’i, perkara masbuq termasuk hal yg penting diketahui oleh setiap muslim baik laki ataupun perempuan, karena masalah ini cukup sering dialami oleh setiap yg menjalankan sholat berjama’ah baik di masjid, musholla atau tempat lainnya.

Tanpa bertele-tele langsung saja kita bahas siapa itu masbuq dan apa saja masalah-masalah yg dibahas seputar masbuq ini.

DEFINISI MASBUQ DAN PEMAHAMANNYA

Defini masbuq telah disebutkan oleh ulama dalam kitab-kitab fiqih mereka sebagai berikut:

المسبوق هو من لم يدرك مع الامام زمنا يسع الفاتحة

Masbuq adalah makmum yg tidak mendapatkan masa yg cukup untuk membaca Alfatihah bersama imamnya.

Lebih jelasnya begini:
Ketika makmum melakukan takbirotul ihram dibelakang imam lalu ia baca Alfatihah, belum selesai bacaan Alfatihah si makmum tapi imamnya sudah keburu ruku’ maka makmum yg seperti ini disebut dengan makmum masbuq.

Tapi ulama fiqih mensyaratkan bacaan Fatihah yg dibaca oleh imam dan makmum adalah bacaan Fatihah yg normal menurut ‘urf (adat), tidak terlalu lambat tidak juga terlalu cepat.

Dan yg jadi ukuran adalah bacaan Fatihah normal umumnya orang, bukan bacaan si imam juga bukan bacaan si makmum.

Jika bacaan Fatihah imam cepat apalagi terlalu cepat atau lambat apalagi terlalu lambat jika di ukur dg bacaan normal kebanyakan orang maka bacaan imam ini tidak menjadi ukuran apakah si makmum ini menjadi masbuq ataukah tidak.

Begitu pula jika bacaan si makmum cepat apalagi terlalu cepat atau lambat apalagi terlalu lambat jika diujur dg bacaan normal kebanyakan orang maka bacaan itu tidak bisa menjadi ukuran apakah dia masbuq ataukah bukan.

Artinya begini:
Jika si makmum bacaannya cepat, bisa saja ia dapatkan waktu yg cukup untuk baca Fatihah semuanya walaupun jika ia telat takbirotul ihramnya, apalagi jika si imam bacaannya lambat.

Begitupun jika si makmum bacaannya lambat, bisa jadi ia tidak punya waktu yg cukip untuk baca Fatihah semuanya karena bacaannya yg lambat, walaupun bacaan imamnya normal-normal saja.

Jadi yg dijadikan patokan ukuran bacaan Fatihahnya adalah ‘urf (adat). Maka dengan bacaan imam yg normal lajunya ketika baca fatihah, saat itulah bisa di jadikan patokan apakah makmumnya akan jadi masbuq ataukan tidak, ketika si mamkmum juga membaca Fatihah dg bacaan yg normal juga, tidak terlalu cepat tidak juga terlalu lambat.

Contoh makmum masbuq dalam realita yg ada dalam sholat jama’ah sebagai berikut:
- makmum melakukan takbirotul ihrom ketika imamnya sedang ruku’
- makmum melakukan takbirotul ihrom, selesainya makmum bertakbir imamnya melakukan ruku’
- makmum melakukan takbirotul ihrom, tak lama kemudian imamnya ruku’.

Dalam contoh-contoh diatas, simakmum ini di namakan makmum masbuq karena pastinya ia tidak mendapat masa yg cukup untuk membaca Fatihah dari awal sampai akhirnya.

Penting:
Masbuq bisa terjadi di setiap rakaat bukan hanya di rakaat pertama saja.
Di rakaat dimana si makmum tidak punya cukup waktu untuk membaca surat Alfatihah semuanya dg ketentuan yg sudah disebutkan diatas maka ia disebut makmum masbuq, baik terjadi di rakaat pertama, kedua, ketiga atau keempat.

MASALAH-MASALAH SEPUTAR MASBUQ

Mari kita bahas masalah-masalah seputar masbuq satu demi satu.

  • jika makmumnya dapatkan imam sudah ruku’ atau selesai makmum bertakbir si imam langsung ruku’ maka hukumnya sbb:
- si makmum tidak perlu membaca Fatihah karena seluruh Fatihahnya sudah di tanggung oleh si imam, tapi yg harus dilakukan makmum di kondisi ini adalah langsung ruku’ mengikuti imamnya.

Walaupun ia tahu betul bahwa jika Ia baca Fatihah niscaya bisa dibaca seluruhnya dan bisa ruku bersama imam berikut thuma’ninahmya, dikarenakan ia tahu bahwa imamnya melakukan ruku’ dg masa yg lama.

Karena kewajiban makmum saat itu adalah mengikuti imamnya ruku’ dan baca Fatihah saat itu tidaklah wajib dan tidak juga sunnah.

Jika simakmum tidak juga ruku’ mengikuti imam tapi ia malah terus berdiri sampai imamnya selesai dari ruku dan bangun untuk melakukan i’tidal, maka rakaat tsb tidak terhitung untuk simakmum sehingga ia harus tambahkan 1 rakaat setelah imamnya melakukan salam di akhir sholatnya.

Itu satu hal, kedua: simakmum tidak boleh ruku’ tapi harus langsung sujud mengikuti imamnya.

Jika ia tidak mengikuti imam sujud tapi masih terus berdiri maka batal sholat makmum karena telah tertinggal dari imamnya sebanyak 2 rukun fi’liy tanpa adanya uzur, kecuali jika simakmum berniat mufaroqoh (berpisah dr imam dan melanjutkan sholat sendirian)

  • Jika simakmum punya waktu sedikit setelah bertakbir sebelum imamnya ruku’
Dalam hal ini simakmum sunnah baca Fatihah sedapatnya dan sisanya yg belum dibaca akan ditanggung oleh imamnya.
Jika si imam ruku’ maka makmum harus juga ruku’ mengikuti imamnya dan tudak perlu melanjutkan bacaan Fatihahnya.

Tapi jika makmum tidak juga ruku’ karena menyelesaikan bacaan Fatihahnya maka makruh hukumnya tindakan tersebut dan rakaat itupun tidak terhitung. Tidak haram tindakan yg dilakukan simakmum ini walaupun ia lakukan dg sengaja dan tahu apa yg seharusnya dilakukan.

Tapi jika imamnya sujud maka simakmum wajib mengikuti imamnya sujud jika tidak maka batal sholatnya.

Di semua kondisi diatas, yaitu makmum yg dapatkan imamnya sudah ruku’ atau setelah selesai bertakbir lalu imamnya langsung ruku’ atau punya waktu sedikit sebelum imamnya ruku’, jika makmum dapatkan ruku’ bersama imamnya dengan thuma’ninahnya dg yakin maka rakaat tersebut dihitung.

Jika simakmum tdk mendapatkan thuma’ninah bersama imamnya ketika ruku atau dapat thuma’ninah tapi setelah imamnya bangun dari ruku’ atau ia ragu-ragu apakah dapat thuma’ninah ataukah tidak, maka simakmum di semua kondisi tersebut tidak mendapatkan rakaat, maksudnya rakaatnya itu tidak terhitung, sehingga nantinya setelah salamnya imam, ia harus menambahkan 1 rakaat lagi sebagai gantinya.

Bahkan untuk yg ragu-ragu tadi, disunnahkan juga melakukan sujud sahwi diakhir rakaatnya.

Jika simakmum tidak baca Fatihah

Jika makmum tidak langsung baca Fatihah sewaktu ia punya waktu sedikit sebelum imamnya ruku’ atau ia malah baca bacaan sunnah seperti baca ta’awwuz (a’udzu) maka hukumnya sebagai berikut:
- wajib ia tertinggal dari imamnya, yakni ia tidak boleh langsung ruku’ mengikuti imam, untuk membaca Fatihah seukuran lamanya waktu yg digunakan untk baca bacaan sunnah atau untuk diam tdk langsung baca Fatihah.

Jika simakmum langsung ruku’ tanpa baca Fatihah seukuran sunnah yg dibaca atau seukuran diamnya, maka batal sholatnya jika ia sengaja dan tahu yg mesti dilakukan.

Tapi jika ia tidak tahu/mengerti hal itu atau ia lupa maka tidak batal sholatnya tapi rakaat itu tidak terhitung sehingga ia harus tambahkan 1 rakaat setelah salam imamnya dikahir sholat.

JIKA BACAAN IMAM CEPAT DIATAS NORMAL

jika bacaan imamnya cepat sedangkan makmumnya bacaannya mormal maka simakmum dikondisi tersebut menjadi masbuq disetiap rakaatnya.

Simakmum cukup baca Fatihah secukupnya sampai dengan imam ruku’ dan sisa Fatihahnya di tanggung oleh imam, lalu ketika imam ruku’ maka makmum-pun wajib ikut ruku’ dan ia dapatkan rakaat itu jika ruku’ bersama imam dg thuma’ninahnya.

Penting:
Simakmum jangan baca bacaan sunnah sebelum baca Fatihah dalam kondisi ini.



Thursday, November 21, 2019

HAL-HAL YG DIHARAMKAN SEBAB HADATS BESAR (HAID DAN NIFAS)


setelah pembahasan mengenai hal-hal yg diharamkan oleh hadats kecil dan menengah maka ditulisan ini penulis akan membahas hal selanjutnya yaitu hal-hal yg diharamkan sebab hadats besar.

bagi kawan-kawan yg belum membaca artikel sebelumnya seputar hal-hal yg diharamkan sebab hadats kecil dan menengah bisa baca dg mengklik disini dan disini.

hal-hal yg diharamkan sebab hadats besar yaitu hadats haid dah hadats nifas ada 12 perkara, dan delapan diantaranya sudah disebutkan dipembahasan sebelumnya dg judul: hal-hal yg diharamkan sebab hadats kecil dan hal-hal yg diharamkan sebab hadats junub dan wiladah (melahirkan)

langsung saja kita bahas hal yg berikutnya yaitu yg kesembilan.

  • ke-sembilan : berpuasa
telah terbentuk ijma' atau kesepakatan para ulama bahwa seorang yg memiliki hadats besar yaitu hadats haidh dan hadats nifas diharamkan berpuasa.

selain diharamkan berpuasa, puasanya juga tidak sah jika masih saja seseorang yg berhadats besar menjalankannya.

puasa yg diharamkan itu sama saja apakah puasa sunnah ataukah wajib, apakah itu puasa qodho atau adaa, baik dari sejak awal dia berhadats lalu dia berpuasa ataukah diawalnya dia suci dari hadats besar lalu ketika berpuasa datang hadats besarnya dan ia terus berpuasa. kesemua puasa itu hukumnya haram 

tapi dimasalah terakhir ada sedikit perbedaan letak haramnya, yaitu seorang yg sudah dalam keadaan berhadats besar dari awalnya tapi masih saja melakukan puasa maka haram baginya itu jika diniatkan berpuasa, adapun jika ia tidak berniat puasa tapi hanya menahan dirinya dari makan dan minum disiang hari maka tidaklah haram karena itu bukan dinamakan berpuasa.

dan jika ketika puasa datang hadats besarnya maka menjadi haram puasanya setelah itu jika dipandang dirinya masih dalam status berpuasa, adapun jika dipandang dirinya sudah tidak lagi berpuasa begitu hadats haidnya datang, maka tidaklah berdosa dan tidak haram walaupun ia tidak makan dan tidak minum, karena makan minum bukanlah wajib atas dirinya.

  • ke-sepuluh : mentalak atau menceraikan istri
diharamkan mentalak istri ketika ia sedang dalam keadaan haid atau nifas dengan syarat-syarat yg berjumlah 7 berikut ini:
- cerai itu tidak datang dari seorang hakim dari kedua belah pihak yg berseteru
- cerai itu tidak datang dari seorang yg melakukan iylaa
- siwanita sudah dicampur oleh suaminya
- siwanita tidak dalam keadaan sedang mengandung anak suaminya
- siwanita tidak memberikan tebusan atas cerainya
- siwanita tidak dalam masa iddah talak raj'iy (talak yg masih dapat rujuk kembali yaitu talak satu atau dua tanpa tebusan)
- tidak menggantungkan kemerdekaan siwanita dari status budak dengan mentalaknya.

jika memenuhi ketujuh syarat diatas barulah diharamkan suami mentalak atau mencerai istrinya saat ia sedang dalam keadaan haid atau nifas.

kenapa diharamkan talaknya jika memenuhi syarat-syarat diatas? tidak lain sebabnya adalah karena memperpanjang masa tunggu/iddahnya dan itu merugikan pihak wanita.

kenapa memperpanjang masa iddahnya? karena iddahnya tidak akan dimulai kecuali jika haid atau nifasnya sudah selesai ketika memasuki masa suci dan kita tahu bahwa iddah wanita ini adalah 3x suci.

dari itu dapatlah difahami sebagai berikut:
- jika suami menceraikannya di akhir detik-detik haidnya maka tidaklah haram cerainya karena setelah dicerai iddahnya akan langsung dimulai karena langsung datang sucinya

- tidak haram jika yg menceraikannya adalah hakim dari kedua belah pihak yg berseteru dan begitu juga tidak haram cerai dari seorang suami yg melakukan iylaa ketika melebihi 4 bulan dan setelah 4 bulan berlalu si isteri menuntut suaminya mencampurinya ketika ia dalam keadaan suci dan ketika sisuami enggan melakukannya lalu si istri menuntut menceraikannya maka si suami menceraikannya ketika isterinya dalam keadaan haid.

- tidak haram mencerai isteri yg belum dicampur sekalipun karena tidak ada iddahnya

- tidak haram mencerai isteri yg sedang mengandung anak suaminya karena tidak ada perbedaan iddahnya ketika itu yaitu habis iddahnya dengan melahirkan anaknya dikedua kondisi baik dicerai dalam keadaan suci ataukah haid.
menurut ulama wanita hamil terkadang mengalami haid

- tidak haram mencerai istri yg membayar tebusan cerai karena itu menunjukkan atas dasar kemauannya sendiri

- tidak haram mencerai isteri yg sedang menjalankan iddah talak raj'i karena ketika dicerai saat itu dan istri sedang haid tidaklah ada tambahan iddahnya, karena iddahnya mengikuti iddah yg ada.

- tidak haram mencerai istri yg berstatus budak jika cerainya digantungkan dg kemerdekaannya, karena kemerdekaannya lebih penting walaupun itu akan memperpanjang masa iddahnya karena di talak sewatu sedang haid

  • ke-sebelas : bersetubuh
diharamkan bagi yg memiliki hadats haid dan nifas untuk bersetubuh walaupun sudah suci tapi belum melakukan mandi wajibnya.

Imam Ghazali berkata: "bersetubuh sebelum melakukan mandi wajib setelah suci dapat menyebabkan timbulnya penyakit lepra"

ulama lainnya mengatakan: "bersetubuh ketika wanita dalam keadaan haid akan menimbulkan penyakit yg sangat pedih bagi yg bersetubuh dan akan menimbulkan penyakit lepra pada sianak yg lahir"

jika seorang istri mengaku sedang haid dan suami tidak percaya dengan ucapan isterinya, dg mengamati bahwa belum berlalu masa suci isterinya yg memungkinkan datang haidnya, boleh suami mengabaikan ucapan istrinya dan mencampurinya.

tapi jika memungkinkan datangnya waktu haid setelah berjalannya masa suci dan suami percaya dg ucapan isterinya maka haram baginya mencampurnya tapi jika suami tidak percaya dg ucapannya maka tidaklah haram karena kemungkinan istri berkata demikian karena membangkang semata kepada suaminya.

tapi jika suami antara percaya dan tidak maka menurut pendapat yg mu'tamad boleh suami mencampurinya karena hanya sekedar ragu.

jika suami percaya dg ucapan si istri dan istri mengaku bahwa ia masih haid dan belum suci maka ia harus percaya dg ucapan istrinya walaupun menyalahi kebiasaan masa haidnya.

didalam hadits disebutkan tentang kecaman istri yg berdusta tentang haid dan sucinya kepada suaminya:

لعن الله الغئصة والمغوصة
"Allah melaknat ALGHOISHOH dan ALMUGHOWWISHOH"

alghoishoh adalah istri yg tidak memberitahukan suaminya bahwa ia sedang haid agar suaminya mencampurinya ketika ia haid.
dan almughowwishoh adalah istri yg sedang suci tapi ia berdusta dan mengatakan pada suaminya bahwa ia sedang haid.


  • ke-dua belas : menyentuh langsung antara pusat dan lutut
diharamkan hal ini walaupun dilakukan tanpa syahwat sama sekali karena hal itu akan menyeretnya kepada bersetubuh.

didalam hadits disebutkan:

من حام حول الحمى يوشك ان يقع فيه

"siapa yg berada didekat perbatasan yg diharamkan dikhawatirkan ia akan terjerumus kedalamnya"

itulah pendapat ulama fiqih yg terkuat.
ada ulama lainny berpendapat bahwa tidak diharamkan selain bersetubuh dan ini pendapat yg dipilih oleh imam Nawawi

yg dimaksud dengan menyentuh yg diharamkan adalah menyentuh langsung bagian tersebut tanpa penghalang sama sekali alias langsung bersentuhan kulit, maka sekedar melihat tidaklah diharamkan walaupun dengan syahwat melihatnya.

dan yg diharamkan adalah menyentuh langsung bagian antara pusat dan lutut istri, adapun menyentuh bagian lainnya seperti tangannya dan lain-lain tidaklah diharamkan walaupun menyentuh bagian itu dengan kelamin sisuami.

sebagaimana suami haram menyentuh langsung bagian antara pusat dan lutut istri begitu juga diharamkan bagi istri menyentuhkan bagian tersebut ke bagian badan suaminya yg manapun, dan haram suaminya membiarkan itu terjadi.

adapun jika istri menyentuhkan bagian tubuhnya selain antara pusat dan lututnya ke bagian manapun dari badan suaminya walaupun kelamin suaminya maka hal itu dibolehkan. 
bersenang-senang dengan bagian kelamin suami khususnya dibolehkan jika di izinkan suaminya tapi jika tidak di izinkan maka haram hukumnya.

jika seorang istri telah suci dari haid atau nifas maka sudah dibolehkan ia berpuasa walaupun belum bersuci alias mandi wajib atau bertayammum sebagaimana sudah tidak haram suaminya mencerainya.

wallahu a'alam...

Tuesday, November 12, 2019

HAL-HAL YG DIHARAMKAN SEBAB HADATS JUNUB DAN WILADAH (MELAHIRKAN)


Ulama ada yg membagi hadats kepada 2 bagian yaitu hadats kecil dan hadats besar dan ada juga yang membagi hadats kepada 3 bagian yaitu hadats kecil, hadats pertengahan dan hadats besar.

disini penulis akan memilih pendapat ulama kedua yg membagi hadats kepada 3 bagian sehingga pembahasannya akan menjadi lebih rinci lagi dan terfokus.

Hadats pertengahan yang dimaksud adalah hadats janabah atau junub dan hadats wiladah atau melahirkan.

Hal-hal yang diharamkan ketika seseorang mempunyai hadats pertengahan ini sebagiannya adalah hal-hal yg diharamkan juga sebab hadats kecil yg telah dibahas dalam tulisan yg lalu. pembaca bisa klik disini untuk mengetahui apa saja yg diharamkan sebab hadats kecil yg berjumalah 5 hal.

kita akan melanjutkan hal-hal apa saja yg diharamkan selanjutnya yg disebabkan oleh hadats pertengahan.


  • ke-enam : membaca Alqur'an
diharamkan membaca Alqur'an bagi mereka yg mempunyai hadats junub atau hadats wiladah walaupun yg dibaca hanya 1 huruf saja, ketika membaca huruf itu diniatkan Alqur'an.

sebagai contoh: ketika seorang berniat membaca bismillah lalu setelah membaca huruf "ba" lantas ia diam menghentikan bacaannya, maka haram hukum membacanya itu karena ia telah berniat maksiat dan sudah mulai mengerjakannya.

membaca Alqur'an bagi yg berhadats pertengahan haram hukumnya jika memenuhi syarat berikut:

  1. - jika yg membacanya sudah mukallaf
  2. - yg dibacanya adalah Alqur'an
  3. - hukum bacaannya adalah sunnah bukan wajib
  4. - jika dilafalkan dengan lisan
  5. - bacaannya terdengar oleh telinganya sendiri ketika tidak ada gangguan baik itu suara bising atau suara hiruk pikuk lainnya dan pendengarannya normal
  6. - diniatkan membaca Alqur'an atau membaca Alqur'an dan zikir.
jika terpenuhi semua syarat diatas maka hukum membaca Alqur'an untuk seorang yg berhadats junub atau wiladah hukumnya haram.

tapi jika tidak memenuhi salah satu syarat diatas maka tidaklah haram, yg berarti:
  1. bacaan anak kecil dan orang gila tidak haram
  2. jika yg dibaca bukan Alqur'an tidaklah haram misalnya membaca hadist qudsi atau membaca Taurat, Injil dan Zabur
  3. jika bacaaannya wajib tidaklah haram, misalnya orang yg tidak mendapatkan 2 alat suci yaitu air untuk berwudhu dan tanah berdebu untuk tayammum lalu melaksanakan sholat lima waktu tanpa wudhu dan tayammum dan membaca surat Alfatihah atau membaca ayat dalam khutbah jum'at.
  4. jika dibaca hanya didalam hati tidaklah haram
  5. jika hanya menggerakkan lisan dan bibirnya tanpa bersuara tidaklah haram
  6. jika bacaannya diniatkan zikir tidaklah haram, misalnya membaca ayat ketika naik kendaraan yaitu: 
سبحان الذي سخر لنا هذا وما كنا له مقرنين وانا الى ربنا لمنقلبون
subhanalladzii sakhkhoro lanaa haadzaa wamaa kunnaa lahuu muqriniin wa innaa ilaa robbinaa lamunqolibuun
  • ke-tujuh : berdiam didalam masjid
berdiam di masjid diharamkan untuk yang memiliki hadats junub dan wiladah ketika ia sudah mencapai usia baligh, walaupun berdiam didalamnya hanya selama bacaan "subhanallah", ada ulama yg berpendapat diharamkan jika lamanya berdiam lebih dari bacaan "subhanallah" adapun jika kurang dari itu belum diharamkan

adapun seorang yg belum baligh maka dibolehkan berdiam di masjid dalam keadaan berhadats pertengahan dan boleh untuk walinya membiarkan sianak berdiam didalam masjid dg keadaannya demikian.

dibolehkan juga berdiam dimasjid dengan sebab-sebab berikut:
- karena darurat, misalnya jika seorang tidur didalam masjid lalu ia mengeluarkan mani dan ia tidak bisa keluar karena masjid dikunci dari luar, tidak ada orang yg dapat membukanya dan ia tidak mempunyai air untuk mandi.
- karena takut sesuatu, misalnya takut dari penagih hutang yang ada diluar masjid atau ada seorang diluar yg mencarinya untuk membunuhnya.

tapi jika memungkinkan ia bertayammum dalam kondisi diatas maka wajib bertayammum dg syarat tidak bertayammum dengan tanah masjid. dan yg dimaksud dg tanah masjid adalah tanah yg masuk dalam wakaf masjid.

jika memungkinkan mencuci sebagian tubuhnya dg air maka wajib itu dilakukan karena dalam kaidah fiqih disebutkan 
الميسور لا يسقط بالمعسور 


  • ke-delapan : mondar-mandir didalam masjid
mondar-mandir (taraddud) didalam masjid juga hal yg diharamkan untuk orang yg memiliki hadats junub atau wiladah. 

yg dimaksud dengan taraddud atau mondar-mandir yaitu masuk dari pintu masjid dan keluar dari pintu yg sama ketika ia masuk.

tapi dibolehkan jika diawal ia masuk masjid berniat untuk keluar dari pintu lain lalu secara tiba-tiba ia batalkan karena suatu hal dan kembali keluar dari pintu yg sama ketika ia masuk tanpa sama sekali berhenti didalam masjid.


Hukum lewat didalam masjid

lewat didalam masjid atau yang disebut dengan 'ubuur didalam istilah ilmu fiqih dibolehkan bagi yg mempunyai hadats junub atau wiladah.

dan maknanya 'ubuur atau lewat yakni masuk kedalam masjid dari satu pintu dan keluar dari pintu lainnya tanpa berhenti didalam masjid ketika ia lewat didalamnya.

jika masuknya kedalam masjid dan lewat karena ada hajat kebutuhan maka tidaklah makruh bahkan tidak juga khilaful awla, misalnya ia lewat dalam masjid karena jalan itu lebih dekat menuju tujuannya dibanding lewat jalan lainnya.

akan tetapi jika lewat dalam masjid tidak karena hajat tertentu maka hukum lewatnya khilaful awla (kurang bagus)

untuk wanita yg sedang haid haram hukumnya lewat didalam masjid jika dikhawatirkan adanya darah yg menetes didalam masjid sewaktu ia lewat sehingga mengotori masjid dan jika aman dari hal tersebut maka makruh hukumnya jika tanpa ada hajat kebutuhan ketika ia lewat tapi jika karena ada hajat dan aman dari hal yg dikhawatirkan diatas maka tidaklah makruh