tipis

Thursday, November 21, 2019

HAL-HAL YG DIHARAMKAN SEBAB HADATS BESAR (HAID DAN NIFAS)


setelah pembahasan mengenai hal-hal yg diharamkan oleh hadats kecil dan menengah maka ditulisan ini penulis akan membahas hal selanjutnya yaitu hal-hal yg diharamkan sebab hadats besar.

bagi kawan-kawan yg belum membaca artikel sebelumnya seputar hal-hal yg diharamkan sebab hadats kecil dan menengah bisa baca dg mengklik disini dan disini.

hal-hal yg diharamkan sebab hadats besar yaitu hadats haid dah hadats nifas ada 12 perkara, dan delapan diantaranya sudah disebutkan dipembahasan sebelumnya dg judul: hal-hal yg diharamkan sebab hadats kecil dan hal-hal yg diharamkan sebab hadats junub dan wiladah (melahirkan)

langsung saja kita bahas hal yg berikutnya yaitu yg kesembilan.

  • ke-sembilan : berpuasa
telah terbentuk ijma' atau kesepakatan para ulama bahwa seorang yg memiliki hadats besar yaitu hadats haidh dan hadats nifas diharamkan berpuasa.

selain diharamkan berpuasa, puasanya juga tidak sah jika masih saja seseorang yg berhadats besar menjalankannya.

puasa yg diharamkan itu sama saja apakah puasa sunnah ataukah wajib, apakah itu puasa qodho atau adaa, baik dari sejak awal dia berhadats lalu dia berpuasa ataukah diawalnya dia suci dari hadats besar lalu ketika berpuasa datang hadats besarnya dan ia terus berpuasa. kesemua puasa itu hukumnya haram 

tapi dimasalah terakhir ada sedikit perbedaan letak haramnya, yaitu seorang yg sudah dalam keadaan berhadats besar dari awalnya tapi masih saja melakukan puasa maka haram baginya itu jika diniatkan berpuasa, adapun jika ia tidak berniat puasa tapi hanya menahan dirinya dari makan dan minum disiang hari maka tidaklah haram karena itu bukan dinamakan berpuasa.

dan jika ketika puasa datang hadats besarnya maka menjadi haram puasanya setelah itu jika dipandang dirinya masih dalam status berpuasa, adapun jika dipandang dirinya sudah tidak lagi berpuasa begitu hadats haidnya datang, maka tidaklah berdosa dan tidak haram walaupun ia tidak makan dan tidak minum, karena makan minum bukanlah wajib atas dirinya.

  • ke-sepuluh : mentalak atau menceraikan istri
diharamkan mentalak istri ketika ia sedang dalam keadaan haid atau nifas dengan syarat-syarat yg berjumlah 7 berikut ini:
- cerai itu tidak datang dari seorang hakim dari kedua belah pihak yg berseteru
- cerai itu tidak datang dari seorang yg melakukan iylaa
- siwanita sudah dicampur oleh suaminya
- siwanita tidak dalam keadaan sedang mengandung anak suaminya
- siwanita tidak memberikan tebusan atas cerainya
- siwanita tidak dalam masa iddah talak raj'iy (talak yg masih dapat rujuk kembali yaitu talak satu atau dua tanpa tebusan)
- tidak menggantungkan kemerdekaan siwanita dari status budak dengan mentalaknya.

jika memenuhi ketujuh syarat diatas barulah diharamkan suami mentalak atau mencerai istrinya saat ia sedang dalam keadaan haid atau nifas.

kenapa diharamkan talaknya jika memenuhi syarat-syarat diatas? tidak lain sebabnya adalah karena memperpanjang masa tunggu/iddahnya dan itu merugikan pihak wanita.

kenapa memperpanjang masa iddahnya? karena iddahnya tidak akan dimulai kecuali jika haid atau nifasnya sudah selesai ketika memasuki masa suci dan kita tahu bahwa iddah wanita ini adalah 3x suci.

dari itu dapatlah difahami sebagai berikut:
- jika suami menceraikannya di akhir detik-detik haidnya maka tidaklah haram cerainya karena setelah dicerai iddahnya akan langsung dimulai karena langsung datang sucinya

- tidak haram jika yg menceraikannya adalah hakim dari kedua belah pihak yg berseteru dan begitu juga tidak haram cerai dari seorang suami yg melakukan iylaa ketika melebihi 4 bulan dan setelah 4 bulan berlalu si isteri menuntut suaminya mencampurinya ketika ia dalam keadaan suci dan ketika sisuami enggan melakukannya lalu si istri menuntut menceraikannya maka si suami menceraikannya ketika isterinya dalam keadaan haid.

- tidak haram mencerai isteri yg belum dicampur sekalipun karena tidak ada iddahnya

- tidak haram mencerai isteri yg sedang mengandung anak suaminya karena tidak ada perbedaan iddahnya ketika itu yaitu habis iddahnya dengan melahirkan anaknya dikedua kondisi baik dicerai dalam keadaan suci ataukah haid.
menurut ulama wanita hamil terkadang mengalami haid

- tidak haram mencerai istri yg membayar tebusan cerai karena itu menunjukkan atas dasar kemauannya sendiri

- tidak haram mencerai isteri yg sedang menjalankan iddah talak raj'i karena ketika dicerai saat itu dan istri sedang haid tidaklah ada tambahan iddahnya, karena iddahnya mengikuti iddah yg ada.

- tidak haram mencerai istri yg berstatus budak jika cerainya digantungkan dg kemerdekaannya, karena kemerdekaannya lebih penting walaupun itu akan memperpanjang masa iddahnya karena di talak sewatu sedang haid

  • ke-sebelas : bersetubuh
diharamkan bagi yg memiliki hadats haid dan nifas untuk bersetubuh walaupun sudah suci tapi belum melakukan mandi wajibnya.

Imam Ghazali berkata: "bersetubuh sebelum melakukan mandi wajib setelah suci dapat menyebabkan timbulnya penyakit lepra"

ulama lainnya mengatakan: "bersetubuh ketika wanita dalam keadaan haid akan menimbulkan penyakit yg sangat pedih bagi yg bersetubuh dan akan menimbulkan penyakit lepra pada sianak yg lahir"

jika seorang istri mengaku sedang haid dan suami tidak percaya dengan ucapan isterinya, dg mengamati bahwa belum berlalu masa suci isterinya yg memungkinkan datang haidnya, boleh suami mengabaikan ucapan istrinya dan mencampurinya.

tapi jika memungkinkan datangnya waktu haid setelah berjalannya masa suci dan suami percaya dg ucapan isterinya maka haram baginya mencampurnya tapi jika suami tidak percaya dg ucapannya maka tidaklah haram karena kemungkinan istri berkata demikian karena membangkang semata kepada suaminya.

tapi jika suami antara percaya dan tidak maka menurut pendapat yg mu'tamad boleh suami mencampurinya karena hanya sekedar ragu.

jika suami percaya dg ucapan si istri dan istri mengaku bahwa ia masih haid dan belum suci maka ia harus percaya dg ucapan istrinya walaupun menyalahi kebiasaan masa haidnya.

didalam hadits disebutkan tentang kecaman istri yg berdusta tentang haid dan sucinya kepada suaminya:

لعن الله الغئصة والمغوصة
"Allah melaknat ALGHOISHOH dan ALMUGHOWWISHOH"

alghoishoh adalah istri yg tidak memberitahukan suaminya bahwa ia sedang haid agar suaminya mencampurinya ketika ia haid.
dan almughowwishoh adalah istri yg sedang suci tapi ia berdusta dan mengatakan pada suaminya bahwa ia sedang haid.


  • ke-dua belas : menyentuh langsung antara pusat dan lutut
diharamkan hal ini walaupun dilakukan tanpa syahwat sama sekali karena hal itu akan menyeretnya kepada bersetubuh.

didalam hadits disebutkan:

من حام حول الحمى يوشك ان يقع فيه

"siapa yg berada didekat perbatasan yg diharamkan dikhawatirkan ia akan terjerumus kedalamnya"

itulah pendapat ulama fiqih yg terkuat.
ada ulama lainny berpendapat bahwa tidak diharamkan selain bersetubuh dan ini pendapat yg dipilih oleh imam Nawawi

yg dimaksud dengan menyentuh yg diharamkan adalah menyentuh langsung bagian tersebut tanpa penghalang sama sekali alias langsung bersentuhan kulit, maka sekedar melihat tidaklah diharamkan walaupun dengan syahwat melihatnya.

dan yg diharamkan adalah menyentuh langsung bagian antara pusat dan lutut istri, adapun menyentuh bagian lainnya seperti tangannya dan lain-lain tidaklah diharamkan walaupun menyentuh bagian itu dengan kelamin sisuami.

sebagaimana suami haram menyentuh langsung bagian antara pusat dan lutut istri begitu juga diharamkan bagi istri menyentuhkan bagian tersebut ke bagian badan suaminya yg manapun, dan haram suaminya membiarkan itu terjadi.

adapun jika istri menyentuhkan bagian tubuhnya selain antara pusat dan lututnya ke bagian manapun dari badan suaminya walaupun kelamin suaminya maka hal itu dibolehkan. 
bersenang-senang dengan bagian kelamin suami khususnya dibolehkan jika di izinkan suaminya tapi jika tidak di izinkan maka haram hukumnya.

jika seorang istri telah suci dari haid atau nifas maka sudah dibolehkan ia berpuasa walaupun belum bersuci alias mandi wajib atau bertayammum sebagaimana sudah tidak haram suaminya mencerainya.

wallahu a'alam...

Tuesday, November 12, 2019

HAL-HAL YG DIHARAMKAN SEBAB HADATS JUNUB DAN WILADAH (MELAHIRKAN)


Ulama ada yg membagi hadats kepada 2 bagian yaitu hadats kecil dan hadats besar dan ada juga yang membagi hadats kepada 3 bagian yaitu hadats kecil, hadats pertengahan dan hadats besar.

disini penulis akan memilih pendapat ulama kedua yg membagi hadats kepada 3 bagian sehingga pembahasannya akan menjadi lebih rinci lagi dan terfokus.

Hadats pertengahan yang dimaksud adalah hadats janabah atau junub dan hadats wiladah atau melahirkan.

Hal-hal yang diharamkan ketika seseorang mempunyai hadats pertengahan ini sebagiannya adalah hal-hal yg diharamkan juga sebab hadats kecil yg telah dibahas dalam tulisan yg lalu. pembaca bisa klik disini untuk mengetahui apa saja yg diharamkan sebab hadats kecil yg berjumalah 5 hal.

kita akan melanjutkan hal-hal apa saja yg diharamkan selanjutnya yg disebabkan oleh hadats pertengahan.


  • ke-enam : membaca Alqur'an
diharamkan membaca Alqur'an bagi mereka yg mempunyai hadats junub atau hadats wiladah walaupun yg dibaca hanya 1 huruf saja, ketika membaca huruf itu diniatkan Alqur'an.

sebagai contoh: ketika seorang berniat membaca bismillah lalu setelah membaca huruf "ba" lantas ia diam menghentikan bacaannya, maka haram hukum membacanya itu karena ia telah berniat maksiat dan sudah mulai mengerjakannya.

membaca Alqur'an bagi yg berhadats pertengahan haram hukumnya jika memenuhi syarat berikut:

  1. - jika yg membacanya sudah mukallaf
  2. - yg dibacanya adalah Alqur'an
  3. - hukum bacaannya adalah sunnah bukan wajib
  4. - jika dilafalkan dengan lisan
  5. - bacaannya terdengar oleh telinganya sendiri ketika tidak ada gangguan baik itu suara bising atau suara hiruk pikuk lainnya dan pendengarannya normal
  6. - diniatkan membaca Alqur'an atau membaca Alqur'an dan zikir.
jika terpenuhi semua syarat diatas maka hukum membaca Alqur'an untuk seorang yg berhadats junub atau wiladah hukumnya haram.

tapi jika tidak memenuhi salah satu syarat diatas maka tidaklah haram, yg berarti:
  1. bacaan anak kecil dan orang gila tidak haram
  2. jika yg dibaca bukan Alqur'an tidaklah haram misalnya membaca hadist qudsi atau membaca Taurat, Injil dan Zabur
  3. jika bacaaannya wajib tidaklah haram, misalnya orang yg tidak mendapatkan 2 alat suci yaitu air untuk berwudhu dan tanah berdebu untuk tayammum lalu melaksanakan sholat lima waktu tanpa wudhu dan tayammum dan membaca surat Alfatihah atau membaca ayat dalam khutbah jum'at.
  4. jika dibaca hanya didalam hati tidaklah haram
  5. jika hanya menggerakkan lisan dan bibirnya tanpa bersuara tidaklah haram
  6. jika bacaannya diniatkan zikir tidaklah haram, misalnya membaca ayat ketika naik kendaraan yaitu: 
سبحان الذي سخر لنا هذا وما كنا له مقرنين وانا الى ربنا لمنقلبون
subhanalladzii sakhkhoro lanaa haadzaa wamaa kunnaa lahuu muqriniin wa innaa ilaa robbinaa lamunqolibuun
  • ke-tujuh : berdiam didalam masjid
berdiam di masjid diharamkan untuk yang memiliki hadats junub dan wiladah ketika ia sudah mencapai usia baligh, walaupun berdiam didalamnya hanya selama bacaan "subhanallah", ada ulama yg berpendapat diharamkan jika lamanya berdiam lebih dari bacaan "subhanallah" adapun jika kurang dari itu belum diharamkan

adapun seorang yg belum baligh maka dibolehkan berdiam di masjid dalam keadaan berhadats pertengahan dan boleh untuk walinya membiarkan sianak berdiam didalam masjid dg keadaannya demikian.

dibolehkan juga berdiam dimasjid dengan sebab-sebab berikut:
- karena darurat, misalnya jika seorang tidur didalam masjid lalu ia mengeluarkan mani dan ia tidak bisa keluar karena masjid dikunci dari luar, tidak ada orang yg dapat membukanya dan ia tidak mempunyai air untuk mandi.
- karena takut sesuatu, misalnya takut dari penagih hutang yang ada diluar masjid atau ada seorang diluar yg mencarinya untuk membunuhnya.

tapi jika memungkinkan ia bertayammum dalam kondisi diatas maka wajib bertayammum dg syarat tidak bertayammum dengan tanah masjid. dan yg dimaksud dg tanah masjid adalah tanah yg masuk dalam wakaf masjid.

jika memungkinkan mencuci sebagian tubuhnya dg air maka wajib itu dilakukan karena dalam kaidah fiqih disebutkan 
الميسور لا يسقط بالمعسور 


  • ke-delapan : mondar-mandir didalam masjid
mondar-mandir (taraddud) didalam masjid juga hal yg diharamkan untuk orang yg memiliki hadats junub atau wiladah. 

yg dimaksud dengan taraddud atau mondar-mandir yaitu masuk dari pintu masjid dan keluar dari pintu yg sama ketika ia masuk.

tapi dibolehkan jika diawal ia masuk masjid berniat untuk keluar dari pintu lain lalu secara tiba-tiba ia batalkan karena suatu hal dan kembali keluar dari pintu yg sama ketika ia masuk tanpa sama sekali berhenti didalam masjid.


Hukum lewat didalam masjid

lewat didalam masjid atau yang disebut dengan 'ubuur didalam istilah ilmu fiqih dibolehkan bagi yg mempunyai hadats junub atau wiladah.

dan maknanya 'ubuur atau lewat yakni masuk kedalam masjid dari satu pintu dan keluar dari pintu lainnya tanpa berhenti didalam masjid ketika ia lewat didalamnya.

jika masuknya kedalam masjid dan lewat karena ada hajat kebutuhan maka tidaklah makruh bahkan tidak juga khilaful awla, misalnya ia lewat dalam masjid karena jalan itu lebih dekat menuju tujuannya dibanding lewat jalan lainnya.

akan tetapi jika lewat dalam masjid tidak karena hajat tertentu maka hukum lewatnya khilaful awla (kurang bagus)

untuk wanita yg sedang haid haram hukumnya lewat didalam masjid jika dikhawatirkan adanya darah yg menetes didalam masjid sewaktu ia lewat sehingga mengotori masjid dan jika aman dari hal tersebut maka makruh hukumnya jika tanpa ada hajat kebutuhan ketika ia lewat tapi jika karena ada hajat dan aman dari hal yg dikhawatirkan diatas maka tidaklah makruh



Monday, November 4, 2019

PEMBAHASAN SEPUTAR MENYENTUH DAN MEMBAWA MUSHAF ALQUR'AN


Dalam keadaan berhadats kecil dan besar diharamkan seseorang menyentuh mushaf Alqur'an apalagi membawanya. begitulah hukumnya dalam ilmu figih mazhab imam syafi'i sebagaimana dibahas dalam artikel sebelumnya disini .

dalam tulisan kali ini kita akan membahas lebih dalam tentang hukum membawa mushaf Alqur'an dalam keadaan berhadats, mari kita simak dengan baik...


  • membawa tafsir jalaalain.
sebagian ulama mengatakan bahwa yg ingin menjalani jalan wara' maka hendaklah ia tidak membawa tafsir jalaalain karena meskipun tafsir jalaalain jumlah hurufnya lebih banyak 2 huruf daripada Alqur'an tapi kemungkinan ketika dicetak ada hufuf yang tertinggal atau tidak tertuliskan karena kesalahan cetak sehingga mengakibatkan jumlah huruf Alqur'an lebih banyak daripada tafsir jalaalain itu sendiri.

itulah jalan wara'nya adapun jika ingin juga membawa tafsir jalaalain maka boleh saja jika diniatkan membawa mushaf saja, sama saja apakah tulisan mushaf berbeda warnanya dg tulisan tafsir jalaalain atau sama, karena tafsir jalaalain lebih banyak 2 huruf dari hufuf alqur'an.

tapi perlu diingat disini bahwa makna membawanya adalah membawa kitab tafsirnya bukan menyentuhkan tangannya ke sebagian halaman tafsir.

adapun jika menyentuhkan tangannya ke sebagian halaman tafsir maka diperhatikan apakah huruf-huruf yg dihalaman itu lebih banyak huruf Alqur'annya ataukah lebih banyak huruf-huruf tafsirnya, dengan itu barulah diberlakukan hukumnya.

jika huruf Alqur'annya lebih banyak maka haram menyentuhnya walaupun secara keseluruhan huruf-huruf tafsir lebih banyak dari huruf-huruf Alqur'annya.

tentunya jika demikian hukumnya menjadi lebih ketat tapi untungnya disebutkan didalam kita Bujairimi alal khotib bahwa ketika jumlah huruf tafsirnya secara keseluruhan lebih banyak daripada huruf tafsirnya maka boleh-boleh saja secara mutlak, artinya secara mutlak yaitu tidak haram menyentuh huruf-huruf Alqur'an yg ada didalam tafsir dan tidak haram juga menyentuh huruf-huruf tafsirn bahkan jika ia menyentuh keduanya tidaklah haram.

ini berlaku bukan hanya untuk tafsir jalaalain tapi juga disemua tafsir Alqur'an yg ada.

permbahasan hukum diatas berlaku jika tafsir dan Alqur'an bercampur tidak dipisahkan atas bawah misalnya atau samping kanan kiri seperti yg ada disebagian cetakan tafsir.


  • membawa mushaf dg catatan kaki
ulama berbeda pendapat tentang Alqur'an yg diberikan catatan kaki dibawah atau disampingnya, menurut syekh Romli bahwa itu sama hukumnya dengan tafsir sehingga perincian hukum tafsir diatas berlaku, sedangkan menurut syekh Al-'Alqomiy hukumnya haram secara mutlak dan dikuatkan oleh syekh Albujairimi karena kertas tersebut sebelum di berikan catatan kaki atau samping hukumnya haram dipegang maka begitu pula hukumnya setelah diberikan catatan.

begitu pula syekh Kurdi menukil dari syekh Ibnu Hajar yg mengatakan bahwa mushaf Alqur'an yg diberikan catatan kaki atau catatan pinggir walaupun memenuhi pinggiran mushaf tidak sama sekali dinamakan tafsir bahkan masih dinamakan mushaf hanya saja paling tidak dinamakan mushaf yg diberi catatan kaki atau pinggir, maka tidak haram membawanya.

tapi walaupun dibolehkan membawa tafsir Alqur'an jika tafsirnya lebih banyak dari Alqur'annya tetap saja hukumnya makruh karena masih ada perbendaan pendapat antar ulama seputar itu.

  • menggendong orang yg membawa mushaf
menggendong orang yg membawa mushaf sedangkan yg menggendongnya sedang berhadats diperdebatkan ulama boleh atau tidaknya menggendong orang itu disaat tersebut.

menurut syekh Romli secara mutlak hal itu dibolehkan dan tidak haram sedangkan syekh Ibnu Hajar mengatakan berlaku perincian hukum yg disebutkan ketika membawa mushaf bersama barang lainnya dalam masalah ini, perincian hukumnya yaitu boleh membawanya jika diniatkan membawa barang, begitu juga jika tidak diniatkan apapun, sedangkan jika diniatkan membawa keduanya yaitu membawa mushaf dan barang maka menurut pendapat yg mu'tamad (paling kuat) dibolehkan dan yg tidak boleh adalah jika diniatkan membawa mushaf saja, itu haram hukumnya.

sedangka syekh thoblawi mengatakan: "jika mushaf itu dinisbatkan kepada yg menggendong karena yg digendong yg sendang membawa mushaf adalah anak kecil maka haram hukum menggendongnya saat itu tapi jika yg digendong bukan anak kecil tidaklah demikian.

  • menyentuh kulit mushaf
kulit mushaf yg masih bersatu dg mushafnya artinya belum terlepas alias belum copot, hukumnya haram menurut pendapat yg mu'tamad karena ketika masih bersatu alias nempel dengan mushaf maka ia adalah bagian dari mushaf.

ada pendapaat lemah mengatakan tidaklah haram, alasannya karena kulit mushaf ini laksana wadahnya seperti kantong plastik atau tas.
tapi pendapat ini lemah karena dibangun atas dasar pendapat lemah juga yaitu boleh menyentuh tas atau wadah tempat mushaf dimana mushafnya ada didalamnya, sedangkan pendapat yg terkuat mengatakan hal itu haram, begitu disebutkan oleh syekh Qolyubi dalam hasyiyahnya.

adapun jika kulit itu sudah terlepas alias copot dari mushafnya.
menurut pendapat mu'tamad haram membawa kulit ini selama masih disebut itu adalah kulit mushaf, sedangkan jika sudah tidak lagi dikatakan itu kulit mushaf karena sudah dijadikan kulit kitab lainnya walaupun masih tertulis alamat-alamat itu dulunya adalah mushaf seperti tulisan Alqur'anul Karim dan sebagainya maka dibolehkan menyentuhnya dan membawanya tanpa bersuci.

ada pendapat lemah dalam masalah ini yg mengatakan bahwa boleh saja membawa kulit itu dan menyentuhnya walau masih disebut kulit mushaf.